Rabu, 07 November 2012

biografi dan analisis penyimpangan puisi


BIOGRAFI TOTO SUDARTO BACHTIAR

TOTO SUDARTO BACHTIAR, lahir 12 Oktober 1929 di Paliaman, Cirebon. Penyair ini telah mulai menulis sajak-sajak sebelum terbitnya majalah Kisah, yakni sekitar tahun 1950. Namun sekaligus sebagian besar sajak-sajaknya ditulis setelah tahun 1953. 
Sajak-sajaknya itu kemudian dikumpulkan dalam dua buku yakni Suara (1956) dan Etsa (1958). Suasana sajak-sajaknya kebanyakan murung, lembut namun menunjukkan pula adanya ketabahan dan kepercayaan pada kemanusiaan. 
Bentuk sajaknya kebanyakan lirik yang bersifat kognitif maupun ekspresif. Toto punya perhatian besar terhadap kehidupan orang-orang melarat seperti pengemis, tukang becak, kehidupan lorong-lorong Jakarta, gelandangan pinggir kali, pahlawan-pahlawan mati muda. Ia menyanyikan nasib mereka yang malang dan menarik perhatian pembaca karena keharuan nasibnya. Namun Toto juga menghasilkan sajak-sajak bersifat falsafi tentang arti kemerdekaan, maut, nasib penderitaan, dsb.
Selain menulis sajak, Toto juga menulis esai dan menterjemahkan sastra dunia. Ia telah menterjemahkan novel Hemingway yang terkenal Pertempuran Penghabisan (A Farewelol to Arms) dan sejumlah cerpen Barat dengan judul Bunglon (1965). Terjemahan-terjemahan drama dunia banyak dikerjakannya hanya sayang belum dibukukan.
Toto Sudarto Bachtiar meninggal di Cisaga, Banjar, Jawa Barat pada 9 Oktober 2007 dikarenakan serangan jantung yang dideritanya. Karya-karyanya mendapatkan banyak penghargaan dan diterima oleh masyarakat Indonesia dengan bangga. Meskipun hanya melahirkan dua buku kumpulan sajak saja, namun kedudukan Toto Sudarto Bachtiar sebagai penyair angkatan Kisah amat penting, sejajar dengan Rendra dan Sitor Situmorang.
karya-karya Toto Sudarto Bachtiar:
Suara: kumpulan sajak 1950-1955, 1956, memenangkan Hadiah Sastra BMKN
Etsa (kumpulan sajak, 1958)
Datang dari masa depan: 37 penyair Indonesia (2000)
Terjemahan
Pelacur (1954), terjemahan karya Jean Paul Sartre
Sulaiman yang Agung (1958), terjemahan karya Harold Lamb
Bunglon (1965), terjemahan karya Anton Chekhov
Bayangan Memudar (1975), terjemahan karya Breton de Nijs, diterjemahkan bersama Sugiarta Sriwibawa
Pertempuran Penghabisan (1976), terjemahan karya Ernest Hemingway
Sanyasi (1979), terjemahan karya Rabindranath Tagore



analisis penyimpangan-penyimpangan pada puisi-puisi di bawah ini:




PERGI
Oleh: Fadilah Neyarasmi

Tangisku menjadi
Hatiku memerih
Tak sempat ku berucap lagi
Tapi kau sudah menjauh pergi

Inginku menahanmu
Lebih lama lagi
Namun kau semakin menjauh
Pergi dari dasar hatiku

Bulan bintang bantu aku
 Pa bisa aku lupakan dirinya
Biar hati merana rapuh
Kan kukuatkan selagi bisa


Penyimpangan-penyimpangan pada puisi di atas:
·     Kata ‘menjadi’ memiliki makna yang samar-samar artinya sulit untuk dipahami langsung oleh pembaca. Sebenarnya kata menjadi di sini yaitu ‘makin menjadi’ atau ‘makin bertambah kencang’ namun penulis sengaja tidak memperjelas maksud kata ‘menjadi’ tersebut dengan tujuan estetis. Penyimpangan yang terjadi merupakan penyimpangan semantis.
·        Kata ‘memerih’ pada puisi di atas memiliki makna ‘menjadi perih’ atau ‘merasakan perih’. Kata ‘memerih’ dalam bahasa Indonesia sebenarnya tidak dibenarkan, oleh sebab itu terjadi penyimpangan morfologis pada kata tersebut.
·    Kata ‘pa’ sebenarnya berasal dari kata ‘apa’ namun dihilangkan salah satu huruf awalnya sehingga hanya ada kata ‘pa’ yang sebenarnya dianggap salah dalam ejaan bahasa Indonesia. Penyimpangan yang terjadi merupakan penyimpangan fonologis. 






merah
Oleh: Fadilah Neyarasmi

Merah itu …
Pabila aku bahagia
Pabila aku marah
Pabila aku berani

Merah itu ... kamu!
Slalu buatku bahagia
Slalu buatku marah
Slalu buatku berani

Merah itu … hidupku!
Yah itu hidupku!
Di mana-mana kan selalu ada
Merah menyala
Merah hidupku
Merah semangatku!


Penyimpangan-penyimpangan pada puisi di atas:
·         Kata ‘merah’ memiliki makna yang berbeda dari denotasi sebenarnya. Kata merah di sini maksudnya adalah perlambangan hidup penyair yang selalu diidentikkan dengan merah. Yang kadang bahagia, marah dan berani. Penyimpangan yang terjadi merupakan penyimpangan semantis.
·         Kata ‘pabila’ sebenarnya berasal dari kata ‘apabila’ namun dihilangkan salah satu huruf awalnya sehingga hanya ada kata ‘pabila’ yang sebenarnya dianggap salah dalam ejaan bahasa Indonesia karena tidak memiliki arti. Penyimpangan yang terjadi merupakan penyimpangan fonologis.
·         Kata ‘slalu’ sebenarnya berasal dari kata ‘selalu’ namun dihilangkan salah satu huruf vocal dibagian tengahnya sehingga hanya ada kata ‘slalu’ yang sebenarnya dianggap salah dalam ejaan bahasa Indonesia. Penyimpangan yang terjadi merupakan penyimpangan fonologis.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar